Sunday, November 3, 2013

Dongeng Filsafat Ludwig Wittgenstein


      Ini merupakan cerita perkenalan seorang pemuda Austria, Ludwig Wittgenstein dengan filsafat, yang kisahnya kini menjadi dongeng filsafat. Perkenalan ini bermula ketika ia tengah menimba ilmu teknik mesin di Manchester University, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh sebuah pertanyaan, “Apakah angka itu?” Pertanyaan ini langsung memesona dirinya dan ia anggap jauh lebih menarik daripada apa yang selama ini ia temukan dalam bidang teknik mesin. Namun demikian ia pun menyadari bahwa sesungguhnya pertanyaan tersebut pun sangat sukar diperoleh jawabannya.
          Latar Belakang Keluarga Wittgenstein Wittgenstein merupakan seorang mahasiswa teknik mesin Manchester University yang berasal dari keluarga pengusaha industri baja yang kaya-raya di Wina, Austria. Ia melewatkan masa kecil dalam sebuah keluarga kelas atas di akhir periode Habsburg. Namun demikian, keluarga Wittgenstein bukan keluarga bahagia. Kedua kakak lelakinya tewas bunuh diri, akibatnya Wittgenstein selalu merasa tertekan dan dihantui oleh keinginan bunuh diri seumur hidupnya. Wittgenstein dan Pengaruh Bertrand Russel Pertanyaan “Apakah angka itu?” berhasil membawa Wittgenstein meninggalkan kampusnya dan pergi ke Cambridge menemui Bertrand Russel, seorang matematikawan yang populer pada masa itu. Russel menyuruh Wittgenstein pergi dan menulis sesuatu tentang pertanyaan tersebut. Ia sangat senang tatkala Wittgenstein kembali beberapa bulan kemudian dengan membawa essainya, lantas meminta Wittgenstein untuk menjadi seorang filsuf. Sesuai saran Russel, Wittgenstein pun resmi meninggalkan Manchester dan tinggal di Cambridge untuk belajar di bawah bimbingan Russel.

         Dalam perjalanan filsafat Wittgenstein, pengaruh Russel sangat kuat dan berhasil memotivasi Wittgensteinun tuk serius menekuni berbagai masalah dan isu filsafat bahasa yang tengah dikembangkan oleh Frege dan Russel. Aliran ini berusaha keras mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa yang membuat bahasa menjadi bermakna?” Biasanya para filsuf bahasa menghabiskan banyak waktu hanya untuk memikirkan, misalnya: mengapa kata ‘kursi’ dan ‘meja’ mempunyai arti sebagaimana yang dimaksudkan. 
       Makna ‘Kata-Kata’ Wittgenstein Wittgenstein muda mengembangkan filsafatnya tentang bagaimana kata-kata memperoleh maknanya. Menurut pemuda Austria tersebut, bahasa manusia menjadi bermakna karena mewakili kenyataan seperti gambar. Sebuah kalimat (dalam bahasa filsuf biasa disebut proporsi) memiliki makna jika kalimat tersebut menggambarkan sebuah hubungan yang mungkin. Inilah yang dimaksud teori makna gambar. 
         Akhirnya terbitlah buku Tractatus Logico philosophicus pada 1920 – salah satu buku filsafat yang paling sukar dimengerti dalam sejarah filsafat – yang berhasil ditulis Wittgenstein dalam parit perlindungan saat berkecamuk Perang Dunia I. Ketika itu ia menjadi sukarelawan dalam tentara Austria. Filsuf Muda yang Aneh dan Anggapan Kegilaan Para Filsuf Wittgenstein merupakan salah satu filsuf yang paling populer dan eksentrik. Ia kaya raya, namun semua uangnya ia sumbangkan dan hidupnya ia habiskan di sebuah pondok di Norwegia. Ia sering terlihat sedang makan kue pai di bangku bioskop barisan terdepan. Filsuf muda ini juga beranggapan bahwa sebagian orang berpikir bahwa terdapat sebuah makna dasar di dalam kata-kata yang punya makna berbeda. 
        Menurutnya, ini adalah prosedur yang sudah salah sejak awal dalam memandang permasalahan ini, kesalahan khas para filsuf. Menurut Wittgenstein, inti masalah dalam filsafat bukan berasal dari rasa ingin tahu, melainkan keterpukauan kecerdasan melalui perangkat bahasa. Para filsuf lupa bahwa kata-kata memiliki banyak makna, sehingga sebagaimana Aristoteles, mereka akhirnya mencari esensi metafisis dari konsep tertentu. Kecenderungan inilah yang oleh Wittgenstein disebut sebagai kegilaan. Para filsuf harus segera disembuhkan bila mereka ingin melihat dunia dengan cara yang benar. Pendapatnya bahwa filsuf gila dan bahwa tidak ada apa-apa di balik kehidupan sehari-hari membuat Wittgenstein menjadi layaknya seorang filistin. Tipe Lain Atom dan Bahasa yang Tanpa Makna Teori makna gambar menyatakan bahwa setiap proposisi terdiri atas beberapa elemen sederhana yang berfungsi layaknya gambar sederhana. Setiap elemen bahasa ini mengacu pada sebuah elemen sederhana lain yang sesuai atau ‘atom’ di dunia. Terkadang metafisika awal Wittgenstein disebut sebagai ‘atomisme logis’ karena mengetengahkan pernyataan “agar bahasa mungkin dimengerti, maka dunia harus tersusun dari ‘atom’ dasar yang sederhana”.
          Mayoritas filsuf setelah Wittgenstein tak mampu meyakini semua itu. Kebingungan tersebut berlandaskan dari pertanyaan, “Apakah atom misterius tersebut?” atom di sini berbeda dengan atom dalam definisi Fisika, karena kebanyakan dari ‘proporsi’ kita mengacu pada benda sehari-hari, seperti kursi. Jika kalimat “Ini adalah sebuah kursi” berfungsi seperti sebuah gambar, bagaimana kita harus mengartikan elemen paling sederhana dari kalimat tersebut – mungkin semisal rembesan warna dalam lukisan impresionis? Parahnya, Wittgenstein ternyata juga mengakui bahwa menurut teori makna yang dicetuskannya, mayoritas dari kata-kata yang kita ucapkan tak bermakna karena tidak menggambarkan apa pun. Hal ini tak hanya tepat dari perspektif lingua etis dan agama, tetapi juga dari lingua filsafat. Pertemuan dengan Sang Perevisi Perjalanan kereta api ekonomi bersama seorang ekonom berkebangsaan Italia, Pierro Sraffa telah mengubah pandangan Wittgenstein tentang teori gambar yang ia cetuskan. Sraffa telah menunjukkan pada Wittgenstein bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan bukan hanya sekedar proposisi. Akhirnya filsuf muda ini pun meyakini bahwa filsafat manapun harus berangkat dari suatu keyakinan bahwa makna manusia bukan sekedar relasi antara metafisis bahasa dan dunia, melainkan sebuah produk kebudayaan dan masyarakat.
          Wittgenstein mulai mempertimbangkan kembali filsafat yang ia kemukakan. Ia menyadari bahwa bagi seorang anak muda seperti dirinya, pandangan filsafatnya bisa dikatakan aneh. Sebuah Tangga Filsafat Wittgenstein menerima bahwa filsafat yang dicetuskannya ternyata tak ada maknanya. Ia menyatakan hal tersebut pada akhir karyanya, Tractatus, bahwa filsafatnya merupakan omong kosong yang berguna, sebuah tangga yang harus anda buang untuk naik ke tempat yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa Wittgenstein muda agak mirip seorang neoplatonis mistis.