Thursday, October 24, 2013

Antara Angin, Arus Air, dan Pasir

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCvIPB5mQcgkaeHQhQOD5Gqzq6sWkfkxcEjxA6e5NbHu4qNgr-6kjRqWxzvLjMG1ioSMmHPSoH9YFHaskTMrkcTmkV2qQTrkvIYYjIFNG_6B80asHzPopcJcsJD5k1vKuroP3j0jTbcCQ/s1600/debu2.jpgSebuah arus air yang gemercik mencapai sebuah gurunpasir dan ternyata tidak mampu menyeberanginya. Air tersebut lenyap ke dalam butiran-butiran pasir yang halus, semakin lama semakin cepat. Arus air tersebut berteriak lantang :
"Aku tak mampu menyeberanginya, tetapi aku melihat sebuah jalan!"
Ini merupakan keadaan murid yang membutuhkan seorang guru, tetapi tidak bisa
mempercayai siapa pun, suatu keadaan
manusia yang menyedihkan.
Suara Gurun menjawab, dalam lidah
alam yang tersembunyi seraya berkata: "Angin bisa menyeberangi gurun, begitu juga engkau bisa melakukannya."
"Tetapi ketika aku mencobanya, aku terserap ke dalam pasir; dan meskipun aku melontarkan diriku ke gurun itu, aku hanya bisa menembus sedikit jarak."
"Angin tidak membenturkan dirinya ke gurun pasir." 
"Tetapi Angin bisa terbang, sedangkan aku tidak."
"Engkau berpikir dengan cara yang salah; mencoba terbang dengan dirimu sendiri adalah rancu. Biarkan Angin membawamu menyeberangi gurun."
"Tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Biarkan dirimu terserap ke dalam Angin."
Arus air tersebut menolak karena ia tidak ingin kehilangan individualitasnya dengan cara seperti itu. Jika melakukannya, ia mungkin tidak eksis lagi.

"Cara berpikir seperti ini," ucap sang Pasir,
"adalah suatu bentuk logika, tetapi iatidak merujuk pada realitas sama sekali. Ketika angin menyerap uap (air), ia membawanya menyeberangi gurun, dan kemudian membiarkannya jatuh kembali laksana hujan. Hujan ini kemudian menjadi sebuah sungai kembali." "Tetapi, tanya si Arus air,
"bagaimana bisa diketahui bahwa hal ini benar adanya?"
"Memang demikian dan engkau harus mempercayainya, atau engkau benar-benar akan disedot oleh pasir-pasir itu, dan setelah beberapa juta tahun akan menjadi kubangan."
"Tetapi jika itu benar, apakah aku akan menjadi sungai yang sama seperti keadaan hari ini?"
"Bagaimanapun, engkau tidak bisa tetap menjadi arus air yang sama seperti sekarang ini. Pilihan tidak terbuka untukmu; tampaknya ia harus dibuka.
Angin akan membawa esensimu, bagian terbaik dari dirimu. Ketika engkau menjadi sungai lagi di gunung-gunung di balik gurun tersebut, manusia mungkin akan memanggilmu dengan nama yang berbeda; tetapi engkausendiri, secara esensial akan tahu bahwa engkau adalah sama. Sekarang engkau menyebut dirimu sendiri serupa dan semacam sebuah sungai hanya karena engkau tidak mengetahui bagian manakah dari sungai tersebut yang menjadi esensimu."

Maka, Arus air tersebut menyeberangi gurun dengan menyerahkan dirinya ke jari-jari Angin yang menyambutnya dengan hangat, mengumpulkan ke atas secara perlahan dan hati-hati, kemudian menurunkannya dengan lembut, ke puncak-puncak gunung di sebuah negeri yang jauh. "Sekarang," ucap si Arus air,
"Aku telah memahami jati diriku."
Tetapi ia memiliki satu pertanyaan, ketika ia semakin deras, terlontarlah pertanyaan itu,
"Mengapa aku tidak bisa memahami hal ini melalui pikiranku sendiri; mengapa Pasir yang harus menyatakannya kepadaku? Apa yang terjadi jika aku tidak mendengarkan nasihat Pasir-pasir tersebut?"
Tiba-tiba sebuah suara kecil berbicara kepada Arus air itu. Suara ini datang dari sebutir pasir yang halus,
"Hanya Pasir yang tahu, karena mereka telah melihat hal ini terjadi; selain itu, mereka memanjang dari sungai ke gunung. Mereka membentuk garis penghubung dan mereka memiliki fungsi yang harus dijalankan sebagaimana segala sesuatu memilikinya. Jalan di mana arus kehidupan harus melanjutkan dirinya dalam perjalanannya telah tertulis di Pasir-pasir itu." 

(Filsafat & Logika)
No Name

No comments:

Post a Comment