Friday, August 5, 2016

Diam Karena Pilihan


      Memang saya tidak suka membaca, tetapi setidaknya saya suka menulis untuk kau baca. Sebaris atau dua hanya untuk sekedar menyapamu, tanpa nama. Setiap kalimat pertama yang terbesit adalah alasan pertama untukku menulis dan kau adalah setelahnya. Gemuruh angin yang terlintas dalam diam tak urung membuat kedua tangan ini menampar pikiranku dan sedikit menyentuh perasaanku. Begitu keras dan pada akhirnya menyadarkanku bahwa betapa sia-sia nya berteriak dibalik sibuknya hujan. Entah bagaimana ku akan menemukan ujung pelangi hanya untuk sekedar menaruh janji. Haruskah aku berlari demi menggapai percikan oleh setiap warnamu? Atau akan kah selamanya menjadi ketidaktahuan yang begitu indah. Ibarat seni, kau serupa Purwacaraka dalam hal irama dalam skala nada tertentu. Sulit kumengerti apa arti setiap gesekan biola yang kau lantunkan, tanpa nama.
      Ketika kau berlari hingga sore hari dan aku masih di pagi hari. Tak kuasa aku menyusulmu dan tak punya nyali untuk meneriakimu. Tertahan, itulah kata yang menjebak dalam setiap sudut pandangku. Beribu kata yang terbenak seakan protes untuk tak terungkap dan seolah diam ini menjadi jurang pemisah ruang yang fana. Butuh sedikit memprovokasi imajinasi untuk menafsirkan langkahmu bak labirin tak berujung. Sejatinya, tertahan itu garis tipis antara memulai dan mengungkapkan. Sederhananya, memulai adalah bagaimana menciptakan aliran sungai yang membawa penuh rasa, tetapi mampukah muara mengungkapkan setiap alirannya kepada lautan yang begitu luas namun tak tenang. Sesederhana itu kah dan semudah itukah berbicara?. Langkah biasa dengan penuh harap konsekuensinya adalah nyata. Kekhawatiran tak henti-hentinya senyum sinis menatapku.
      Terlalu kaya apabila menyebutnya dengan terus mengharapkanya namun terlalu miskin apabila menyebutnya dengan ketidakpedulian. Betapa indah sisi dari kesederhanaanmu yang begitu lihai mempermainkan waktu. Rumit untuk mengartikan yang sesungguhnya. Tertahan itu ibarat menggenggam erat es di gurun pasir, sebenarnya itulah yang kau butuhkan dan menjadi harapan namun terasa nyeri jika tetap menggenggamnya. Kecemburuan dengan waktu yang nyata tak terelakan lagi. Sesuatu yang tak terucap itu memang indah tetapi yang nyata itu sangat mengesankan. Seperti mimpi di dalam mimpi, bahkan aku pun tak sanggup lagi berkhayal dalam lamunan.
      Sejenak kunyalakan radio dan kuputar lagu favoritku dari kaset usangku hanya untuk mengalihkan pikiranku untuk sementara dan nampaknya kau tak ingin mendengarnya. Musik instrumental dengan nuansa yang sangat ciamik walau tanpa lirik. Musik yang cocok untukku saat ini yang tak lagi mempunyai kata cadangan. Kunikmati iramanya serambi menutup mata dan kubuka mataku tanpa sengaja menatap jam dinding yang menyeru kepadaku. Ingat, ia tak akan berhenti walau hanya sekedar menikmati secangkir kopi. Tak hentinya seru jam dinding mengingatkanku pada suatu pilihan. Apakah ketidaktahuanku akan selalu menutup sebelah mataku? Atau apakah ketidaktahuan ini adalah senyum hari depan. Setiap detik dalam hidup adalah isyarat dan setiap kata yang terungkap adalah rahasia makna.

Monday, July 11, 2016

Ketika Mata dan Pikiranku Tak Selaras



Oohhh tidak.. teringat ketika semasa kecilku disuruh Ibu Guru TK untuk menyanyikan lagu bintang kecil ciptaan Ibu Meinar Louise. Sangat malu bernyanyi dihadapan puluhan kawan TK ku dulu, memang dari dulu orangnya agak pemalu. Ya.. secara lisan saya emang pemalu dan sampai saat ini pun masih pemalu, apalagi untuk mengungkapkan sesuatu kepada dirimu, Oke skip. “Bintang kecil di langit yang biru amat banyak menghias angkasa..” begitulah penggalan liriknya. Semenjak masih kanak-kanak saya mengartikan bintang itu memang kecil, tetapi setelah beranjak besar pandanganku mulai berbeda. Karena aspek logika selalu mambayangiku semasa kecil. Contoh nyata berlogika lainnya adalah ketika sedang menonton film kartun dan sangat meresapinya.
      Pertanyaan “bintang itu besar atau kecil” seketika berubah menjadi pernyataan dalam aspek imajinasi dan logika hingga sampai dewasa ini. Bintang itu besar auat kecil? di sinilah letak pikiran dan mata akan saling beradu jika belum menengok secara langsung keberadaan bintang yang sebenarnya. Hal ini memang sepele, tapi bagiku begitu menyenangkan untuk dinyatakan. Pikiranku berpendapat bahwa bintang itu sangat besar. Karena pikiranku sudah terpengaruh oleh beberapa media yang mengatakan demikian. Saya dari dulu memang suka menonton tayangan dokumenter tentang luar angkasa apalagi documenter milik National Geographic, dalam tayangan tersebut mengatakan bahwa bintang itu besar dan diperjelas dengan menambahkan ukurannya yang membuat saya lebih yakin. Sedangkan, mataku berpendapat bahwa yang kulihat sebenarnya bintang itu kecil yang bercahaya.  
     Keyakinan selalu meletakan anggapan bahwa setiap keputusan yang disertai dengan prinsip itu benar terhadap obyek atau melihat sebuah kebiasaan (realita), dan yakin tersebut bersifat kurang permanen sehingga dapat menjadi sebuah keraguan. Jadi, setiap yang kita pandang itu belum tentu dapat dijangkau oleh pikiran. Oleh sebab inilah Tuhan menciptakan sifat keraguan.