Memang
saya tidak suka membaca, tetapi setidaknya saya suka menulis untuk kau baca.
Sebaris atau dua hanya untuk sekedar menyapamu, tanpa nama. Setiap kalimat
pertama yang terbesit adalah alasan pertama untukku menulis dan kau adalah
setelahnya. Gemuruh angin yang terlintas dalam diam tak urung membuat kedua
tangan ini menampar pikiranku dan sedikit menyentuh perasaanku. Begitu keras
dan pada akhirnya menyadarkanku bahwa betapa sia-sia nya berteriak dibalik
sibuknya hujan. Entah bagaimana ku akan menemukan ujung pelangi hanya untuk sekedar
menaruh janji. Haruskah aku berlari demi menggapai percikan oleh setiap
warnamu? Atau akan kah selamanya menjadi ketidaktahuan yang begitu indah. Ibarat
seni, kau serupa Purwacaraka dalam hal irama dalam skala nada tertentu. Sulit
kumengerti apa arti setiap gesekan biola yang kau lantunkan, tanpa nama.
Ketika
kau berlari hingga sore hari dan aku masih di pagi hari. Tak kuasa aku
menyusulmu dan tak punya nyali untuk meneriakimu. Tertahan, itulah kata yang
menjebak dalam setiap sudut pandangku. Beribu kata yang terbenak seakan protes
untuk tak terungkap dan seolah diam ini menjadi jurang pemisah ruang yang fana.
Butuh sedikit memprovokasi imajinasi untuk menafsirkan langkahmu bak labirin
tak berujung. Sejatinya, tertahan itu garis tipis antara memulai dan
mengungkapkan. Sederhananya, memulai adalah bagaimana menciptakan aliran sungai
yang membawa penuh rasa, tetapi mampukah muara mengungkapkan setiap alirannya
kepada lautan yang begitu luas namun tak tenang. Sesederhana itu kah dan
semudah itukah berbicara?. Langkah biasa dengan penuh harap konsekuensinya
adalah nyata. Kekhawatiran tak henti-hentinya senyum sinis menatapku.
Terlalu
kaya apabila menyebutnya dengan terus mengharapkanya namun terlalu miskin
apabila menyebutnya dengan ketidakpedulian. Betapa indah sisi dari
kesederhanaanmu yang begitu lihai mempermainkan waktu. Rumit untuk mengartikan
yang sesungguhnya. Tertahan itu ibarat menggenggam erat es di gurun pasir,
sebenarnya itulah yang kau butuhkan dan menjadi harapan namun terasa nyeri jika
tetap menggenggamnya. Kecemburuan dengan waktu yang nyata tak terelakan lagi. Sesuatu
yang tak terucap itu memang indah tetapi yang nyata itu sangat mengesankan. Seperti
mimpi di dalam mimpi, bahkan aku pun tak sanggup lagi berkhayal dalam lamunan.
Sejenak
kunyalakan radio dan kuputar lagu favoritku dari kaset usangku hanya untuk
mengalihkan pikiranku untuk sementara dan nampaknya kau tak ingin mendengarnya.
Musik instrumental dengan nuansa yang sangat ciamik walau tanpa lirik. Musik
yang cocok untukku saat ini yang tak lagi mempunyai kata cadangan. Kunikmati
iramanya serambi menutup mata dan kubuka mataku tanpa sengaja menatap jam
dinding yang menyeru kepadaku. Ingat, ia tak akan berhenti walau hanya sekedar
menikmati secangkir kopi. Tak hentinya seru jam dinding mengingatkanku pada
suatu pilihan. Apakah ketidaktahuanku akan selalu menutup sebelah mataku? Atau
apakah ketidaktahuan ini adalah senyum hari depan. Setiap detik dalam hidup
adalah isyarat dan setiap kata yang terungkap adalah rahasia makna.
No comments:
Post a Comment