Thursday, June 23, 2016

Musik Adalah Perasaan Serba Sementara


    Setiap detik akhir dalam suatu lagu adalah hal paling tidak menyenangkan ketika yang kudengar adalah kesukaanku. durasi musik memang sesaat namun akan selalu tersimpan. Jika membandingkan, saya lebih menyukai lagu karena iramanya atau melodinya, bukan lirik. Apabila diibaratkan sifat dasar manusia, lirik hanyalah estetika yang menawan untuk dipandang sedangkan irama adalah etika yang selalu terkenang. Sangat mudah untuk mengenali seseorang dari parasnya namun sangat sulit melupakan setiap tingkah lakunya. Sudah menjadi budaya dalam diriku untuk mendengarkan musik. Bukan hanya untuk menghilangkan rasa jenuh, akan tetapi merefleksikan diri melalui musik itu sungguh menyenangkan dan  juga ada kalanya untuk bersembunyi dari kebisingan suasana yang begitu canggung.
     Saat mendengarkan musik, hanya perlu beberapa detik untuk terbawa ke dalam iramanya dan mudah untuk diingat. Sebab tidak ada rumus tertentu untuk belajar mengingatnya. Pada sisi lain, Musik mampu mewakili perasaan seseorang dan juga mampu mengalihkan perasaan untuk sementara. Bahkan tanpa kusadari mampu membebaskan kekhawatiran dalam sejenak. Entah kenapa musik begitu mudahnya mempermainkan perasaan. Lantas bagaimana bisa begitu? Semua karena tempo dan nada serta dibalut dengan rangkaian kata-kata nan indah untuk meluapkan perasaan yang terkandung di dalamnya. Tinggi rendah nada atau cepat lambatnya tempo merupakan sifat dasar musik. Lirik seolah-olah mengatakan tentang apa yang sebenarnya sedang dirasakan dalam setiap iramanya. Sifat dasar inilah yang akan membentuk karakter musik tertentu. Perpaduan yang begitu harmonis nan indah.
     Tidak mudah untuk menafsrikan musik atau lagu, tetapi semua orang bisa bermain musik. Tanpa disadari, dalam tubuh manusia pun sedang memainkan musik. Setiap aliran darah dan setiap detak jantung atau nadi dalam tubuhnya membentuk gramatika irama musik dengan skala nada tertentu. Musik adalah bahasa jiwa dalam keheningan. Ludwig van Beethoven pernah bilang “music is the mediator beetwen spiritual and the sensual life”. Beethoven merupakan salah seorang komposer terbesar dengan karyanya yang terkenal adalah Fur Elise. Dia merupakan tokoh penting dalam peralihan masa jaman klasik menuju jaman romantis dalam bermusik. Hal yang paling mengagumkan dari dirinya adalah bahwa dia adalah seorang tuli.itulah sekilas tentang salah tokoh composer musik idolaku.
Jika hanya yakin pada lirik dan tak peduli adanya nada, saat itulah hidup penuh dengan cerita namun tak berirama.

Thursday, June 16, 2016

Tuhan, Sebenarnya Aku Tidak Takut Gemuk

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixvdCJ7vSiIBBcJ0bvuxFXBIiHpxNZ12ziBBxz-8qWLfB_FIKRjhMuEsXnFnitu9z2eqUWo-d8BgxIuykES7CIIXaVZVQ3_VQBdhbeNz81YL-vA5_Q_OHDBuEojS3Y7GYYZhFrlbljnqU/s200/Cemas.jpg
    Bernyanyilah maka dirimu mulai paham akan bayangan perasaanmu. Tanpa kode yang pasti, segala pengharapan memaksa diri ini untuk meraih-NYA. Keheningan menjadi isyarat untuk merenung mendalam bahwa aku hanyalah selembut butiran debu yang terbang tak karuan, jatuh kemudian terbang lagi, jatuh lagi dan begitu seterusnya. Sebab nafas-MU lah aku menjadi seperti ini. Aku sadar bahwa Engkau Maha Peka yang selalu memiliki rencana begitu jernih yang Engkau titipkan kepada umatmu untuk ditafsirkan. Sekali lagi Engkau selalu berhak. Aku tidak pernah meminta lebih kepada-MU. Hanya satu yang aku pinta, lancarkanlah ceritaku. Ya.. cuma itu
Beberapa orang selalu mengira  “jika Engkau mengabulkan sebagian kecil do’a, karena dia pantas..” dan “jika Engkau enggan mengabulkan setiap do’a nya itu karena dia belum pantas mendapatkan atau bahkan tidak pantas”. Namun ada satu alasan mengapa Tuhan enggan mengabulkan setiap do’a, yaitu Tuhan hanya khawatir kepada umat-NYA. Khawatir itu garis tipis antara tidak pantas dan belum pantas. Sebab khawatir itu bahwa bukti semu bahwa Tuhan menyayangi manusia. Aku selalu yakin Engkau tidak pernah berjanji, karena Engkau pasti.
     “Tuhan, Sebenarnya aku tidak takut gemuk” hanyalah lisan dari pikiranku setiap waktu. Jikalau Enggan mengabulkan coletehku, aku hanya berpikir Tuhan hanyalah khawatir. Tuhan selalu menyaksikan tingkah laku setiap waktu. Ia tahu bahwasannya cahaya lampu adalah kebutuhan, akan tetapi jika cahayanya terlalu terang membuat mata anda terasa sakit. Begitulah bunyi diksinya, agak rumit memang. Semua apa yang telah disaksikan-NYA menjadi parameter antara keseharianku dengan pinta lisanku bisa juga menyebutnya do’a ku atau pengharapan mengapa Tuhan enggan mengabulkan dan jika disimpulkan Tuhan hanya khawatir jika aku gemuk dan kebiasaanku masih menjadi keseharianku, itu akan memperburuk tubuh dan perilaku ini.
Kebiasaan yang seperti apa? Hanya aku dan Tuhan yang tahu. Karena kebiasaan itu sudah tertanam dalam diri manusia dan kemudian menjadi sifat. Menoleh dari kalimat sebelum kalimat ini, tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan “apakah kebiasaan mendasari sifat? Atau justru sifat yang menimbulkan kebiasaan?. Huuhh penasaran ingin segera cari tahu.mungkin orang Psikologi lebih paham kan hal ini. Itu sama seperti menjawab pertanyaan lebih peka mana? mata atau telinga?. Berbicara tentang pendapat, artikel ini bukanlah alibi tapi Just #i_think