Thursday, June 16, 2016

Tuhan, Sebenarnya Aku Tidak Takut Gemuk

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixvdCJ7vSiIBBcJ0bvuxFXBIiHpxNZ12ziBBxz-8qWLfB_FIKRjhMuEsXnFnitu9z2eqUWo-d8BgxIuykES7CIIXaVZVQ3_VQBdhbeNz81YL-vA5_Q_OHDBuEojS3Y7GYYZhFrlbljnqU/s200/Cemas.jpg
    Bernyanyilah maka dirimu mulai paham akan bayangan perasaanmu. Tanpa kode yang pasti, segala pengharapan memaksa diri ini untuk meraih-NYA. Keheningan menjadi isyarat untuk merenung mendalam bahwa aku hanyalah selembut butiran debu yang terbang tak karuan, jatuh kemudian terbang lagi, jatuh lagi dan begitu seterusnya. Sebab nafas-MU lah aku menjadi seperti ini. Aku sadar bahwa Engkau Maha Peka yang selalu memiliki rencana begitu jernih yang Engkau titipkan kepada umatmu untuk ditafsirkan. Sekali lagi Engkau selalu berhak. Aku tidak pernah meminta lebih kepada-MU. Hanya satu yang aku pinta, lancarkanlah ceritaku. Ya.. cuma itu
Beberapa orang selalu mengira  “jika Engkau mengabulkan sebagian kecil do’a, karena dia pantas..” dan “jika Engkau enggan mengabulkan setiap do’a nya itu karena dia belum pantas mendapatkan atau bahkan tidak pantas”. Namun ada satu alasan mengapa Tuhan enggan mengabulkan setiap do’a, yaitu Tuhan hanya khawatir kepada umat-NYA. Khawatir itu garis tipis antara tidak pantas dan belum pantas. Sebab khawatir itu bahwa bukti semu bahwa Tuhan menyayangi manusia. Aku selalu yakin Engkau tidak pernah berjanji, karena Engkau pasti.
     “Tuhan, Sebenarnya aku tidak takut gemuk” hanyalah lisan dari pikiranku setiap waktu. Jikalau Enggan mengabulkan coletehku, aku hanya berpikir Tuhan hanyalah khawatir. Tuhan selalu menyaksikan tingkah laku setiap waktu. Ia tahu bahwasannya cahaya lampu adalah kebutuhan, akan tetapi jika cahayanya terlalu terang membuat mata anda terasa sakit. Begitulah bunyi diksinya, agak rumit memang. Semua apa yang telah disaksikan-NYA menjadi parameter antara keseharianku dengan pinta lisanku bisa juga menyebutnya do’a ku atau pengharapan mengapa Tuhan enggan mengabulkan dan jika disimpulkan Tuhan hanya khawatir jika aku gemuk dan kebiasaanku masih menjadi keseharianku, itu akan memperburuk tubuh dan perilaku ini.
Kebiasaan yang seperti apa? Hanya aku dan Tuhan yang tahu. Karena kebiasaan itu sudah tertanam dalam diri manusia dan kemudian menjadi sifat. Menoleh dari kalimat sebelum kalimat ini, tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan “apakah kebiasaan mendasari sifat? Atau justru sifat yang menimbulkan kebiasaan?. Huuhh penasaran ingin segera cari tahu.mungkin orang Psikologi lebih paham kan hal ini. Itu sama seperti menjawab pertanyaan lebih peka mana? mata atau telinga?. Berbicara tentang pendapat, artikel ini bukanlah alibi tapi Just #i_think

No comments:

Post a Comment